Makna “Hombung” bagi masyarakat Batak
Suku Batak merupakan
salah satu suku di Indonesia yang memiliki kebudayaan yang khas dan unik. Jika ditinjau dari segi benda – benda peninggalan budaya suku Batak,
salah satu keunikan dari benda tersebut
adalah bahwa nenek moyang Suku Batak dalam membuat sesuatu benda selalu mempertimbangkan benda yang dibuatnya
bernilai pragmatis dan bernilai spiritual. Misalnya adalah “ Hombung”.
Bagi suku Batak khususnya Batak Toba, “Hombung” memiliki makna
istimewa. “Hombung” adalah sebuah
benda berongga terbuat dari kayu berbentuk petak persegi panjang, yang
berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga seperti emas, intan,
perak, uang benda pusaka, pedang dan benda apa saja berukuran kecil yang
dianggap berharga. Dalam falsafah hidup orang Batak ada 3 hal penting dalam kehidupan sosial yang harus
diraih, yaitu: Hamoraon (harta/ kekayaan), Hagabeon (keturunan/
generasi), dan Hasangapon (harga diri /pengakuan). Hamoraon (kekayaan) sangat
penting, sehingga orang Batak sangat gigih bekerja mencari nafkah sehari –hari
dan mengumpulkan harta di dalam hombung. Dengan banyak harta maka dia akan lebih
leluasa melakukan “panggalangon” (berupa pesta, membantu orang secara
ekonomis, atau traktir makan orang lain)
yang diyakini akan memperluas pengakuan orang lain terhadap dirinya. Dalam umpasa Batak ada menyebutkan “Panggalangon do mula ni harajaon” (terjemahannya
: “mentraktir orang lain adalah awal baik untuk memulai agar kita di kenal dan
dihormati orang “).
Hombung berfungsi layaknya
brankas ataupun lemari penyimpanan harta. Pemiliknya akan menguasai hombung itu seutuhnya selama hidup. Ketika si Pemilik sudah uzur dan meninggal, keturunannya
dan pihak keluarga dekat lainnya akan
berkumpul dan melakukan suatu acara adat yang disebut membuka hombung. Acara adat tersebut dalam
Bahasa dan adat Batak dinamakan “ Mangungkap Hombung”. Pada saat itu
seluruh keluarga dan hula-hula berkumpul untuk bersama-sama membuka dan
menyaksikan isi hombung, melihat seberapa banyak harta yang dikumpulkan si
pemilik hombung semasa hidupnya. Berapa banyak harta berupa uang, emas, rumah
termasuk sawah dan ladang. Setelah harta
dihitung maka pihak keluarga akan membagi harta tersebut sesuai adat dan aturan
yang berlaku di masyarakat Batak. Biasanya rumah, ladang dan sawah akan jatuh
ke tangan anak laki – laki, sedangkan emas dan uang boleh dibagikan ke anak
perempuan. Jika yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki maka sawah dan
ladang akan jatuh ke tangan saudara laki-laki ayah. Sedangkan pihak tulang (saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan “yang meninggal”) serta hula-hula (orang tua dari istri, atau
saudara laki – laki dari istri) juga
diberi bagian berupa uang karena dianggap berperan mengayomi keluarga tersebut.
Hombung ada yang diberi
hiasan ukiran gorga dan pahatan singa-singa ataupun gambar lainnya dan
ada juga yang tidak diukir sama sekali. Pada
umumnya suku Batak membuat hiasan gorga
dan ukiran tergantung pada tingkat ekonomi seseorang. Semakin tinggi status
ekonomi dan status pengakuan seseorang di masyarakat dapat dilihat pada jumlah
dan kerumitan gorga yang digunakan di
setiap barang yang dimilikinya. Hombung
yang memiliki ukiran banyak dan rumit menunjukkan bahwa si pemilik memiliki
banyak harta karena mampu membayar
pemahat untuk mengerjakannya.
Pada masa sekarang, hombung sudah jarang ditemukan
dan jarang digunakan sebagai penyimpanan harta. Hombung sudah digantikan
menjadi brankas besi atau uang sudah disimpan di Bank. Namun dalam adat Batak sebutan
“mangungkap
Hombung” masih tetap lestari namun yang dibuka bukan lagi Hombung yang
sebenarnya. Apabila orang tua yang
meninggal, dimana anaknya sudah menikah semua, pihak-pihak keluarga berkumpul untuk
membicarakan buka hombung dan harta dibagi secara simbolik dan harta yang
dibagipun sudah berupa uang saja tanpa
perlu membeberkan utang maupun harta dari yang meninggal. Besaran pembagiannya
juga sudah disepakati bersama sesuai kemampuan ekonomi keturunan dari orang yang
meninggal. Selain untuk menjaga tidak terjadi persengketaan maka salah satu alasan
yang dapat diterima bahwa harta orang si
meninggal sudah habis digunakan menyekolahkan anak-anaknya. Hal ini dapat diterima,
karena pada kenyataannya suku Batak jaman sekarang sudah mengutamakan
pendidikan anak-anak dibanding dengan mengumpulkan harta di dalam hombung.