Jumat, 05 Oktober 2012

Makna "Hombung" Bagi Masyarakat Batak


Makna “Hombung” bagi masyarakat Batak


Suku Batak merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki kebudayaan yang khas dan  unik. Jika ditinjau  dari segi  benda – benda peninggalan budaya suku Batak, salah satu keunikan dari benda tersebut  adalah bahwa nenek moyang Suku Batak dalam membuat sesuatu  benda  selalu mempertimbangkan benda yang dibuatnya bernilai pragmatis dan bernilai spiritual. Misalnya adalah “ Hombung”.
Bagi suku Batak khususnya  Batak Toba, “Hombung” memiliki makna istimewa. “Hombung”  adalah sebuah benda berongga terbuat dari kayu berbentuk petak persegi panjang, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga seperti emas, intan, perak, uang benda pusaka, pedang dan benda apa saja berukuran kecil yang dianggap berharga. Dalam falsafah hidup orang Batak ada 3  hal penting dalam kehidupan sosial yang harus diraih, yaitu: Hamoraon (harta/ kekayaan), Hagabeon (keturunan/ generasi), dan Hasangapon (harga diri /pengakuan). Hamoraon (kekayaan) sangat penting, sehingga orang Batak sangat gigih bekerja mencari nafkah sehari –hari dan mengumpulkan harta di dalam hombung. Dengan banyak harta maka dia akan lebih leluasa melakukan “panggalangon” (berupa pesta, membantu orang secara ekonomis,  atau traktir makan orang lain) yang diyakini akan memperluas pengakuan orang lain terhadap dirinya. Dalam umpasa Batak ada menyebutkan “Panggalangon do mula ni harajaon” (terjemahannya : “mentraktir orang lain adalah awal baik untuk memulai agar kita di kenal dan dihormati orang “).
Hombung berfungsi layaknya brankas ataupun lemari penyimpanan harta. Pemiliknya akan  menguasai hombung itu seutuhnya selama hidup.  Ketika si Pemilik sudah uzur dan meninggal, keturunannya dan pihak keluarga dekat  lainnya akan berkumpul dan melakukan suatu acara adat yang disebut  membuka hombung. Acara adat tersebut dalam Bahasa dan adat Batak dinamakan “ Mangungkap Hombung”. Pada saat itu seluruh keluarga dan hula-hula berkumpul untuk bersama-sama membuka dan menyaksikan isi hombung, melihat seberapa banyak harta yang dikumpulkan si pemilik hombung semasa hidupnya. Berapa banyak harta berupa uang, emas, rumah termasuk sawah dan ladang.  Setelah harta dihitung maka pihak keluarga akan membagi harta tersebut sesuai adat dan aturan yang berlaku di masyarakat Batak. Biasanya rumah, ladang dan sawah akan jatuh ke tangan anak laki – laki, sedangkan emas dan uang boleh dibagikan ke anak perempuan. Jika yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki maka sawah dan ladang akan jatuh ke tangan saudara laki-laki ayah. Sedangkan pihak tulang (saudara laki-laki dari  ibu yang melahirkan “yang meninggal”) serta hula-hula (orang tua dari istri, atau saudara laki – laki dari  istri) juga diberi bagian berupa uang karena dianggap berperan mengayomi keluarga tersebut.
Hombung ada yang diberi hiasan ukiran gorga dan pahatan singa-singa ataupun gambar lainnya dan ada juga yang tidak diukir sama sekali.  Pada umumnya suku Batak membuat hiasan gorga dan ukiran tergantung pada tingkat ekonomi seseorang. Semakin tinggi status ekonomi dan status pengakuan seseorang di masyarakat dapat dilihat pada jumlah dan kerumitan gorga yang digunakan di setiap barang yang dimilikinya.  Hombung yang memiliki ukiran banyak dan rumit menunjukkan bahwa si pemilik memiliki banyak harta karena mampu membayar  pemahat untuk mengerjakannya. 
Pada masa sekarang, hombung sudah jarang ditemukan dan jarang digunakan sebagai penyimpanan harta. Hombung sudah digantikan menjadi brankas besi atau uang sudah disimpan di Bank. Namun dalam adat Batak sebutan “mangungkap Hombung” masih tetap lestari namun yang dibuka bukan lagi Hombung yang sebenarnya. Apabila orang tua yang  meninggal, dimana anaknya sudah menikah semua,  pihak-pihak keluarga berkumpul untuk membicarakan buka hombung dan harta dibagi secara simbolik dan harta yang dibagipun sudah  berupa uang saja tanpa perlu membeberkan utang maupun harta dari yang meninggal. Besaran pembagiannya juga sudah disepakati bersama sesuai kemampuan ekonomi keturunan dari orang yang meninggal. Selain untuk menjaga tidak terjadi persengketaan maka salah satu alasan yang dapat diterima  bahwa harta orang si meninggal sudah habis digunakan menyekolahkan anak-anaknya. Hal ini dapat diterima, karena pada kenyataannya suku Batak jaman sekarang sudah mengutamakan pendidikan anak-anak dibanding dengan mengumpulkan  harta di dalam hombung.